Pelabuhan Priuk dalam Kenangan
>> Friday, August 15, 2008
05 Agustus— Tepatnya pukul 05:45-an, Saya dan seorang teman bernama Nita (Bengkulu) bersiap-siap mengantar para akhwat Sulawesi. Mereka adalah Emi (Sultra), Ishlah (Sultra), Anis (Sultra), Fia (Sultra), Ida (Sulbar), dan Marwah (Sulbar) ke Pelabuahn Tanjung Priuk. Kami memang harus berangkat pagi-pagi, mengingat tiket pesawat dijadwalkan pukul 08:00 WIB.
Kami berangkat dari sekretariat KAMMJA dengan menggunakan taksi. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar, sehingga kami tiba pukul 07 kurang. Sesampainya di Pelabuhan, saya menghubungi seorang teman (Ikhwan), sebut saja Isal, yang diminta bantuannya untuk membelikan tiket.
Setelah menunggu beberapa waktu Isal pun datang dan menyerahkan enam buah tiket: empat ke Makassar dan dua ke Kendari. Namun, dia tidak langsung pergi. Dia ikut menunggu kami sampai teman-teman saya itu naik ke kapal. Bahkan dia mengantarkan sampai ke atas kapal. Sedangkan saya dan Nita, menunggu di dermaga. Yah, mungkin kami bisa dikatakan penakut atau tidak berani menerobos kerumunan orang yang berdesak-desakan hendak menaiki kapal. Sehingga kami memutuskan untuk tidak naik.
Jujur saja, ini kali pertama saya ke Pelabuhan Tanjung Priuk. Hal ini saya pikir wajar, mengingat asal saya dari Sedayu, Gresik-Jawa Timur. Jadi kalaupun pulang, saya hanya naik bus malam saja. Tidak perlu naik kapal laut. Kereta pun hanya sekali-kalinya. Saya merasa lebih nyaman naik bus ’Pahala Kencana.’
Kesan pertama saat saya menginjakkan kaki di Pelabuhan adalah semrawut, ratusan orang dengan segala kesibukan, kuli angkut mondar-mandir, dan hal lain yang jarang saya temui. Rasa heran pun semakin bertambah, ketika saya dan teman-teman memasuki tempat tunggu penumpang. Di sana bangku-bangku penuh dengan para penumpang.
Saya dan teman-teman mewarnai sendiri suasana saat itu, kami asik berfoto, merekam, dan hal-hal lain yang dapat dijadikan kenangan. Sedangkan Isal sibuk mempelajari situasi di depan tangga kapal.
Awalnya teman-teman saya bermaksud membawa barangnya sendiri, tanpa jasa kuli. Namun, Isal memberikan warning, “Sebaiknya menggunakan jasa kuli, karena di dalam sangat penuh, berdesak-desakan. Insya Allah kulinya profesional.“
Mendekati jam 08:00, kami pun masuk ke dermaga dan menyaksikan sendiri suasana yang tadi digambarkan oleh Isal. Saat itu saya benar-benar kaget. Mungkin karena tidak terbiasa.
Semua orang berebut untuk naik dan cepat sampai di kapal. Berikut dengan kuli panggul. Mereka pun memiliki tujuan yang sama. Bedanya, mereka membawa barang-barang milik orang yang menyewa jasa mereka. Dorong-dorongan, sikut sana-sikut sini seakan menjadi pemandangan biasa bagi mereka. Namun, tidak bagi saya.
Sesaat kami mengamati suasana yang ada. Sampai akhirnya, perpisahan itu pun tiba. Emi, Ishlah, Marwah, dan Hidayani pun pamit. Mereka bersiap menaiki kapal. Fia dan Anis memang sudah naik terlebih dahulu, karena Anis kurang sehat.
Saya dan Nita hanya dapat memandangi dari jauh, ketika mereka naik. Ketika Isal mendampingi seorang kuli panggul yang disewa untuk membawakan barang-barang mereka.
Awalnya mereka ingin naik tangga sebelah kiri. Namun, tidak jadi. Karena terlalu padat. Mereka pindah ke tangga sebelah kanan. Ya, tangga sebelah kiri memang padat. Bahkan hampir saja ada orang yang jatuh dati tangga atas, akibat aksi dorong-mendorong.
Alhamdulillah setelah berjuang melewati kerumunan orang, mereka tiba di atas kapal. Cukup lama saya dan Nita menunggu Isal. Akhirnya dia pun turun dari kapal dan pamit. Sedangkan saya dan Nita, sibuk melambaikan tangan ke arah kapal. Di sana ada teman-teman saya yang beberapa jam lagi akan mengarungi lautan luas.
Saya tidak bisa membayangkan, mereka harus menempuh tiga hari perjalanan di atas kapal, di tengah lautan luas tak bertepi. Saya berharap kami dipertemukan lagi dalam kegiatan-kegiatan selanjutnya.
***
Bogor, 09 Agustus 2008
0 comments:
Post a Comment
Silakan masukkan komentar Anda. Jangan melakukan spam, gunakan bahasa yang sopan. Admin akan memeriksa komentar yang masuk. Terima kasih. :-)