Nenek Pemulung di Pulau Untung Jawa
>> Sunday, August 8, 2010
Perawakannya kecil. Di wajah dan dahinya tampak jelas kerutan tanda usianya sudah lanjut. Sambil menggendong karung plastik, dia berjalan menyusuri pantai Pulau Untung Jawa. Seorang diri. Nenek ini cekatan memunguti aneka benda plastik yang bertebaran di bibir pantai.
Satu, dua, tiga jam. Dia terus berjalan menyusur pantai, berharap ada limpahan “rezeki” berupa sampah plastik yang terbawa oleh ombak Laut Jawa. Sesekali dia rehat dengan berjongkok. Sudah pasti, dia sangat kelelahan.
“Nenek itu orang yang paling kasihan se Pulau ini, Mas…,” kata salah seorang penjual minuman keliling di pantai Pulau Untung Jawa.
Nenek itu sering disapa Nek Ami. Dia satu-satunya wanita sepuh yang berprofesi sebagai pengumpul plastik bekas di Pulau Untung Jawa. Di usianya yang sudah senja, dia masih berkutat dengan ketidakpastian hidup.
Dalam sehari, rata-rata dia berhasil mengumpulkan 2 kilogram sampah plastik yang kemudian dia jual Rp 2 ribu per kilonya. Sejak matahari mulai terbit, dia sudah berangkat ke “kantor”-nya di pantai. Dia mengacak-acak onggokan-onggokan sampah yang terbawa ombak.
“Nenek mah udah lahir lama sebelum merdeka, tong (Mas)…,” tuturnya. Itu berarti usianya sudah lebih dari 65 tahun. Bisa jadi 70 atau 80 tahun. Sambil asyik memilah sampah, dia bercerita bahwa di pulau ini tidak ada orang yang seperti dirinya.
“Orang pasti malu jadi tukang ngambilin ‘mainan’ (istilah dia untuk sampah plastik), tapi mau begimana? Nenek masih butuh makan, nggak ada yang ngejamin (menjamin),” ungkapnya.
Obrolan kami berlangsung singkat, karena sudah mau magrib. Nek Ami pamit pulang. Rumahnya ada di bagian belakang pulau. Sekira 10 meter di belakangnya terdapat hutan bakau yang berbatasan dengan laut lepas. Air di rumahnya pun asin. Rumah itu sangat sederhana. Di depannya terdapat bangku panjang sebagai tempat dia biasa selonjoran selepas bekerja.
Mari berhitung sederhana. Harga sampah Rp 2 ribu per kilogram. Bila Nek Ami ini hanya mampu “menghasilkan” 2 kilogram saja sehari, berarti penghasilannya tiap hari hanya Rp 4 ribu. Sebuah angka yang hanya cukup untuk membeli sepiring lontong sayur tanpa telur.
Namun, tidak terlihat kerisauan, kecemasan, atau keluh kesah di wajahnya. Salut. Nek Ami adalah sosok yang tetap punya wibawa, harga diri, dan martabat yang tinggi walaupun dia secara materi tergolong dhuafa. Tidak terucap sedikit pun kata mengiba-iba dari bibirnya.
“Yang penting bisa makan apa aja, masih bisa jalan, masih bisa ngeliat,” ujarnya lirih sambil mengunyah sirih yang jadi camilan favoritnya.
Nek Ami, boleh jadi miskin harta, tapi sungguh kaya jiwa. Nek Ami secara tidak langsung menjadi bagian dari usaha pelestarian lingkungan dengan menjadi pengumpul sampah. Subhanallah, hidup ini memang penuh hikmah. (Liputan Dompet Dhuafa)
foto ilustrasi: ferrari
Sumber: www.eramuslim.com
Satu, dua, tiga jam. Dia terus berjalan menyusur pantai, berharap ada limpahan “rezeki” berupa sampah plastik yang terbawa oleh ombak Laut Jawa. Sesekali dia rehat dengan berjongkok. Sudah pasti, dia sangat kelelahan.
“Nenek itu orang yang paling kasihan se Pulau ini, Mas…,” kata salah seorang penjual minuman keliling di pantai Pulau Untung Jawa.
Nenek itu sering disapa Nek Ami. Dia satu-satunya wanita sepuh yang berprofesi sebagai pengumpul plastik bekas di Pulau Untung Jawa. Di usianya yang sudah senja, dia masih berkutat dengan ketidakpastian hidup.
Dalam sehari, rata-rata dia berhasil mengumpulkan 2 kilogram sampah plastik yang kemudian dia jual Rp 2 ribu per kilonya. Sejak matahari mulai terbit, dia sudah berangkat ke “kantor”-nya di pantai. Dia mengacak-acak onggokan-onggokan sampah yang terbawa ombak.
“Nenek mah udah lahir lama sebelum merdeka, tong (Mas)…,” tuturnya. Itu berarti usianya sudah lebih dari 65 tahun. Bisa jadi 70 atau 80 tahun. Sambil asyik memilah sampah, dia bercerita bahwa di pulau ini tidak ada orang yang seperti dirinya.
“Orang pasti malu jadi tukang ngambilin ‘mainan’ (istilah dia untuk sampah plastik), tapi mau begimana? Nenek masih butuh makan, nggak ada yang ngejamin (menjamin),” ungkapnya.
Obrolan kami berlangsung singkat, karena sudah mau magrib. Nek Ami pamit pulang. Rumahnya ada di bagian belakang pulau. Sekira 10 meter di belakangnya terdapat hutan bakau yang berbatasan dengan laut lepas. Air di rumahnya pun asin. Rumah itu sangat sederhana. Di depannya terdapat bangku panjang sebagai tempat dia biasa selonjoran selepas bekerja.
Mari berhitung sederhana. Harga sampah Rp 2 ribu per kilogram. Bila Nek Ami ini hanya mampu “menghasilkan” 2 kilogram saja sehari, berarti penghasilannya tiap hari hanya Rp 4 ribu. Sebuah angka yang hanya cukup untuk membeli sepiring lontong sayur tanpa telur.
Namun, tidak terlihat kerisauan, kecemasan, atau keluh kesah di wajahnya. Salut. Nek Ami adalah sosok yang tetap punya wibawa, harga diri, dan martabat yang tinggi walaupun dia secara materi tergolong dhuafa. Tidak terucap sedikit pun kata mengiba-iba dari bibirnya.
“Yang penting bisa makan apa aja, masih bisa jalan, masih bisa ngeliat,” ujarnya lirih sambil mengunyah sirih yang jadi camilan favoritnya.
Nek Ami, boleh jadi miskin harta, tapi sungguh kaya jiwa. Nek Ami secara tidak langsung menjadi bagian dari usaha pelestarian lingkungan dengan menjadi pengumpul sampah. Subhanallah, hidup ini memang penuh hikmah. (Liputan Dompet Dhuafa)
foto ilustrasi: ferrari
Sumber: www.eramuslim.com
0 comments:
Post a Comment
Silakan masukkan komentar Anda. Jangan melakukan spam, gunakan bahasa yang sopan. Admin akan memeriksa komentar yang masuk. Terima kasih. :-)