"Save Our Palestine... Save Our Palestine... Save Our Palestine" "Please Pray for Palestine...."

bisnis syariah

html stats

Glitter Words
Glitter Words


Supir Taksi Agamawan

>> Friday, July 25, 2008

09 Juli— Rabu pagi, kira-kira pukul 08:30 WIB, saya mendampingi teman-teman GAMIS (Malaysia) ke TRUSTCO. Saat itu posissi kami di Menteng dan TRUSTCO di Jati Asih-Bekasi. Oleh karena itu, kami naik Taksi, ikhwan dua taksi dan akhwat satu taksi.

Perjalanan yang harus ditempuh cukup jauh. Antara Jakarta dengan Bekasi. Karena saya ‘orang Jakarta’, saya pun duduk di samping pak supir yang sedang bekerja, mengendarai taksi supaya baik jalannya . Untuk melepas kebosanan, saya pun membuka obrolan dengan Pak Supir. Awalnya saya hanya bertanya pengalaman kerjanya. Namun akhirnya merembet ke masalah lain. Terlebih agama.

Supir taksi itu (Saya lupa namanya), sudah bergelut di jalanan selama 38 tahun, dari taksi satu ke taksi lainnya. Dia juga pernah menjadi supir di Malaysia. Hal ini dibuktikan dengan kefasihannya berbicara bahasa Malaysia dan ngobrol dengan teman-teman GAMIS. Dia memiliki empat orang anak, ketiganya kuliah melalui beasiswa dan sudah bekerja. Sedangkan si bungsu, usia Sekolah Dasar. Kesuksesannya menyekolahkan anak-anaknya, tidak terlepas dari dukungan anak-anak tertuanya. Dia bercerita, bahwa setelah lulus, anak pertamanya langsung bekerja dan ikut membiayai adiknya. Begitu pula seterusnya.

Selain itu, wawasan keagamaannya juga berbeda dengan kebanyakan supir. Dia mengenal banyak pesantren, paham kondisi umat Islam saat ini, dsb. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya dia mengingatkan tentang kehidupan akhirat. Kami sharing tentang agama.

Tak terasa, kami pun sampai di markas besar TRUSTCO. Setelah memberikan closing statement, kami pun meninggalkan Pak Supir dan taksinya. Entah kapan bisa bertemu lagi. Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui.

***


Bogor, 18 Juli 2008



Lanjut membaca “Supir Taksi Agamawan”  »»

Supir Bajaj Juga Ngihwan Lho

09 Juli— Rabu malam, kira-kira pukul 22:00-an, saya dan seorang teman naik bajaj. Kami menunggu di depan jalan Tebet Barat Dalam V. Saat itu saya bermaksud ke rumah teman saya itu, untuk mengambil beberapa barang, karena esoknya pagi-pagi sekali saya harus mendampingi teman-teman GAMIS (Malaysia) ke Bandung selama tiga hari.

Walaupun rumah teman saya sama-sama di Tebet, perjalanan yang harus kami tempuh tidak bisa dibilang dekat. Dengan diiringi getaran khas mesin bajaj, kami ngobrol sepanjang perjalanan. Cerita-cerita lucu membuat kami tak jarang tergelak. Namun, tiba-tiba semuanya terhenti seiring berhentinya mesin bajaj di Taman Tebet (temanku menyebutnya Hutan Tebet). Rasa was-was pun seketika menghampiri kami.

Supir bajaj pun turun, lalu melihat sumber masalahnya. Sebelumnya, dia berkata kepada kami, “Sebentar ya, Neng.” Saya dan teman saya hanya berpandangan dan terdiam. Kekhawatiran mulai menyergap perasaan kami. Ditambah lagi tempat itu sepi.

Perasaan kami kian tak menentu dan untuk mengalihkannya, saya mulai mengamati sekitar. Sampai mata saya sekilas menangkap sosok supir bajaj dengan dandanan ala ikhwan. Dalam hati saya berkata, “Supir Bajaj-nya ikhwan.” Dengan maksud memecah keheningan, saya menyampaikan pendapat itu kepada teman saya. Dan seketika itu juga kami pun tertawa.

Alhamdulillah, akhirnya bajaj itu hidup kembali. Kami pun melanjutkan perjalanan. Dengan masih senyum-senyum, kami menikmati kembali getaran khas bajaj. Entah kenapa, supir bajaj itu pun ikut tersenyum.

Setelah menyusuri jalanan Tebet, bajaj pun berhenti tepat di depan Pasar PPSPT. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampainya di rumah teman saya, saya mengambil beberapa barang yang diperlukan. Karena segala sesuatunya dirasa cukup, saya pun kembali ke Tebet Barat Dalam VA dengan menggunakan bajaj. Namun, perjalanan kali ini tak ada obrolan. Apalagi gelak tawa. Yang ada hanyalah keheningan malam berpayungkan langit kelam.

***


Bogor, 18 Juli 2008


Lanjut membaca “Supir Bajaj Juga Ngihwan Lho”  »»

Jamu pun Menjadi Korban

29 Juni— Suatu siang, sambil menikmati es the dingin, saya menonton acara di salah satu stasiun televisi. Acara tersebut memang senantiasa menghasirkan investigasi tentang suatu hal. Kali ini, stasiun itu mengupas berita tentang pemalsuan jamu. Awalnya, saya tidak terlalu tertarik. Namun pada akhirnya, saya mengikuti hingga akhir.

Tentu kata jamu tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan mungkin kita termasuk peminat sekaligus penikmatnya. Jamu yang kita kenal dengan bahan alami (rempah-rempah Pertiwi), kini menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai. Para plagiator sudah merambah ke ‘warisan leluhur’ ini. Jamu pun tidak lagi menyehatkan, justru membahayakan. Ya, kini jamu banyak dicampur dengan bahan kimia atau bahan-bahan berbahaya lainnya. Memang dampaknya tidak bisa langsung dirasakan. Namun cepat atau lambat, dampaknya mulai menggerogoti tubuh kita.

Pada acara itu juga ditampilkan kesaksian seorang wanita yang meminum jamu pelangsing secara kontinu. Kini, tubuhnya bengkak-bengkak. Begitu pula dengan wajahnya. Selain itu juga ada seorang wanita yang akhirnya lumpuh, karena mengkonsumsi jamu tertentu.

Fakta pemalsuan jamu, bukan berarti tidak ada jamu asli yang menyehatkan. Di antara jamu palsu, masih banyak jamu asli berkhasiat. Ketua Persatuan Penjual Jamu Nasional mengatakan, jamu palsu biasanya berciri:

  1. Merk jamu, baru dan sangat menarik perhatian.

  2. Khasiatnya langsung terasa (dalam waktu singkat).

  3. Setelah minum, merasakan sakit di anggota tubuh.


Saya jadi teringat perkataan pembawa acara tersebut, “Bangsa Indonesia.. bangsa macam apa! Jamu warisan leluhur saja dipalsukan!”

Perkataannya ada benarnya dan perlu kita renungkan bersama. Sehingga kita dapat meminimalisasinya atau paling tidak bukan penikmat jamu palsu.


Bogor, 13 Juli 2008

Lanjut membaca “Jamu pun Menjadi Korban”  »»

Sepatu Sandalku Sayang, Sepatu Sandalku Malang, Sepatu Sandalmu....

29 Juni— Ahad pagi saya mengikuti Daurah Tarkiyah Akhwat (Pelatihan khusus wanita), dengan tema ‘Menyentuh dengan Hati.’ Kegiatan ini berlangsung di Masjid Fatahillah, dari jam 08:30 s.d. 12:00 WIB. Karena saya harus menyetrika dulu, maka saya pun datang terlambat. Kira-kira pukul 09:00-an.

Seperti biasa, saya pergi naik mobil pribadi setiap orang alias angkutan umum. Setelah kurang lebih 30 menit, saya pun sampai di depan gapura Perumahan Griya Cipeucang. Dengan sedikit tergesa, saya berjalan menuju Masjid. Sesampainya di sana, saya melihat banyak sandal berbaris rapi di pelataran Masjid. Memang rezekinya yang datang terlambat, sepatu sandal ‘Bata’ kesayangan saya pun harus rela berada di barisan paling belakang.

Saya pun bergegas masuk, setelah sebelumnya mengisi registrasi dan say hello dengan para ummahat yang ada di sana (sebagai panitia). Walaupun terlambat, saya berusaha konsentrasi mendengarkan sambil membaca makalah yang ada di tangan.

Tak terasa acarapun berakhir, tepat jam 11:30-an. Setelah itu masing-masing peserta membubarkan diri. Kecuali saya dan beberapa teman, karena Ummi meminta kami untuk tinggal. Ternyata kami membicarakan persiapan untuk kegiatan Ramadhan. Kebetulan kami PJ-nya. Kami larut dalam diskusi. Tanpa disadari ternyata masjid sudah lengang. Tak beberapa lama, diskusi pun berakhir. Saya dan seorang teman pamit duluan, karena akan ke khitanan saudaranya. Ya, teman saya meminta saya untuk menemani dia ke khitanan saudaranya.

Di pelataran masjid, mata saya seakan mencari sesuatu yang sangat dikenal. Namun hasilnya nihil. Sepatu sandal kesayangan saya seakan raib ditelan bumi. Wajah yang awalnya biasa saja, semakin menyiratkan tanda Tanya dan kebingungan. Teman-teman mulai bertanya apa yang terjadi. Saya pun menceritakan bahwa sepatu sandal saya tidak ada. Mereka pun membantu mencari. Ketika sedang mencari, tiba-tiba mata saya tertumbu pada sepasang sepatu sandal usang, agak robek, dan berukuran besar. Semakin saya amati, ternyata modelnya sama persis dengan milik saya. Namun, hati saya berontak. Bagaimana mungkin sepatu sandal yang tadinya bagus, tanpa robek, dan berukuran kecil tiba-tiba bisa berubah menjadi besar dan usang. Kalau usang/kotor masih rasional, mungkin terkena debu. Tapi kalu melar jadi besar, rasanya sulit diterima logika.

Akhirnya, saya pun berpikir bahwa sepatu sandal saya sudah ada yang membawa pulang. Entah siapa. Entah akhwat DPRa mana. Entah akhwat yang tinggal di mana. Tapi yang pasti, sepatu sandal miliknya masih ada di sini, di Masjid ini. Berpasangan dengan apiknya. Celotehan teman-teman pun terdengar, “Ayo…ayo.. siapa yang mau dibonceng Afi, sandalnya masih muat tuh.” Kami pun tertawa mendengarnya. Termasuk saya, walaupun agak keki. Sempat terbesit suudzon, ‘Masa sih tidak bisa merasakan bahwa sepatu sandal yang dia pakai itu terlalu sempit’. ‘Masa sih ga ngenalin sepatu sandal miliknya.’ Dan masa sih…masa sih…lainnya. Namun, pada akhirnya saya berusaha menepis hal itu dan menerimanya. Praktis saya ke khitanan dengan beralas kaki sepatu sandal usang, robek, berukuran besar… yang malang ditinggal pemiliknya!

Kini, sepatu sandal tak bertuan itu berpasangan dengan apiknya di rak sepatu-sandal rumahku.


***


Bogor, 29 Juni 2008


Lanjut membaca “Sepatu Sandalku Sayang, Sepatu Sandalku Malang, Sepatu Sandalmu....”  »»

Dia Bernama… Mba Wil

18 Juni—Malam, aku ikut ibu menjenguk tetangga yang sedang sakit. Mba Wil, begitu tetanggaku itu akrab disapa. Mba Wil adalah seorang ibu dengan empat orang anak. Satu lelaki dan tiga perempuan, yang terbilang masih kecil-kecil. Dalam kesehariannya, Mba Wil sangat aktif. Selain membuka warung nasi, pesanan kue-kue, beliau juga membuka warung mie ayam (Delivery). Sosoknya yang ramah membuat beliau dikenal oleh banyak orang, bahkan sampai berbeda perumahan.

Mba Wil selalu aktif. Tak lupa di tengah aktivitasnya, beliaupun masih menyempatkan diri untuk mengaji bersama ibu-ibu Aisyiyah dan mengikuti arisan ibu-ibu Indocement, PKK, RT, dsb. Beliau senantiasa ceria dalam melewati hidup.

Namun kini, Mba Wil terbaring lemah di atas tempat tidur. Walaupun senyum tetap menghiasi wajahnya. Beliau memang mengidap penyakit diabetes dan sudah dua minggu terakhir ini, penyakitnya semakin parah.

Pada saat aku dan ibu ke rumahnya, kami melihat kaki mba Wil dibungkus dengan perban. Meskipun demikian, tidak bisa menutupi bahwa di telapak kakinya baru saja ke luar darah segar, beberapa jari kakinya sudah bolong. Memang mba Wil bilang belum mengenai sarafnya. Namun tetap saja, itu bukan pemandangan yang biasa bagiku. Tanpa sadar, aku pun menitikkan air mata.

Saat kami datang, mba Wil tak henti-hentinya bercerita tentang penyakitnya, ketika dia diperiksa, dan sebagainya. Sesekali wajahnya menyiratkan kesedihan. Namun senyumpun tak mau hilang dari wajahnya. Justru kami yang mendengarkannya merasa sangat miris. Di tengah kondisinya yang seperti itu, ia mengatakan, ‘Alhamdulillah Mba, ini sudah lebih baik. Kakinya sudah tidak bengkak dan bisa digerakkan lagi’.


Di tengah harga BBM dan Pangan yang semakin mencekik leher, Mba Wil harus berjuang melawan penyakitnya. Setiap dua hari sekali, ia harus disuntik insulin, yang menghabiskan dana Rp. 200.000,- sekali suntik. Bisa dibayangkan berapa besar dana yang harus dikeluarkan. Kalaupun ada uluran tangan dari para kerabat atau tetangga, tentu tetap tidak akan penuh. Hanya sekadarnya saja.

Mba Wil memang sosok perempuan yang tegar. Namun rasa pesimispun tetap menghantuinya. Aku teringat bahwa ketika aku dan ibu di rumahnya, ia bercerita, suatu hari pernah merasakan seluruh kamarnya berbau wangi bunga-bunga segar. Terutama di sampingnya. Ia pun memanggil Mas Arif, suaminya. Saat itu mba Wil sudah berpikir yang bukan-bukan. Terlebih hari sebelumnya, ia juga mendengar suara burung kuik…kuik… (begitu ia menyebutnya. Akupun tak tahu namanya). Namun mas Arif selalu menguatkan hati istrinya. Selalu memotivasinya. Sehingga mba Wil pun tidak berpikiran negative lagi.

Hingga kini, mba Wil tetap terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Senantiasa shalat dan menengadahkan tangan, serta menundukkan kepada ke hadapan Ilahi Rabbi.




Untuk Mba Wil:


Syafakillah syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba’dahu saqaman.”

Semoga Allah SWT menyembuhkanmu secepatnya dengan kesembuhan yang tiada sakit setelahnya. Amin.”




Nb: - Doa ini juga kutujukan untuk ‘mba Wil-mba Wil lain’ yang sedang terbaring lemah melawan rasa sakit.

  • Kepada semua pembaca, mohon doanya bagi kesembuhan Mba Wil, ya.



Bogor, 13 Juli 2008


Lanjut membaca “Dia Bernama… Mba Wil”  »»

Performansiku… Menipumu

Pengalaman yang akan saya ceritakan ini tentu pernah dialami juga oleh orang lain. Bisa jadi kamu termasuk di dalamnya. Ya, pengalaman ini memang pengalaman yang bisa terjadi kapan dan di manapun, tak terkecuali di masjid.

Kira-kira pukul 19:00 WIB beberapa bulan lalu, saya mengalaminya lagi. Saat itu, saya dalam perjalanan pulang ke rumah. Seperti biasa, saya naik angkot 121. Karena malas ke Terminal, saya pun menunggu di bawah jembatan sebelum tol (Tepatnya di seberang Termibnal Kp. Rambutan). Setelah cukup lama menunggu, mobil pun tiba. Saya kebagian posisi duduk di pinggir sebelah kiri, dekat pintu.

Perjalanan panjang, membuat saya terlena mendengarkan lagu Islami (nasyid) melalui headset. Awalnya, saya merasa semua baik-baik saja. Sampai saya menyadari, resleting sebelah kanan sudah terbuka. Refleks saya menutupnya kembali dan berjaga-jaga. Dengan memasang wajah jutek, saya mulai mengamati sekitar. Ya… Allah, ternyata ada tiga pencopet dalam mobil itu. Saat itu, mobil tengah melaju di tol, baru setengah perjalanan. Saya pun hanya bisa bersiaga. Posisi mereka, satu orang tepat di samping saya dan dua orang di depan saya. Selama perjalanan (di tol) saya hanya bisa berdoa sambil memegangi tas saya. Namun, saya berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takut.

Alhamdulillah, pintu keluar tol pun kami lalui. Tepat di Jambore (Cibubur) ada seorang penumpang yang turun. Sehingga, seorang ibu yang awalnya duduk di kursi tambahan dekat pintu, pindah ke depan saya. Itu artinya tepat di samping dua orang pencopet itu. Baru sebentar duduk, ibu itupun seolah menyadari sesuatu. Sambil mengumpat kecil, ia pun memutuskan pindah ke posisi duduk semula. Benar saja, tasnya sudah terbuka. Beruntung tak beberapa lama, ia telah sampai tujuan. Sedangkan aku, pemberhentian terakhir masih lama. Terlebih ditambah dengan macet.

Sebenarnya bisa saja saya turun dang anti mobil. Namun entah kenapa saya tetap ada di sana sampai pemberhentian terakhir. Sepangjang perjalanan, hinaan dari mereka pun mampir ke telinga saya. Jujur, saya sangat kesal. Tapi bukan karena itu, melainkan mereka menggunakan kaligrafi sebagai alat pengalihan.

Alhamdulillah… dengan izin Allah, saya sampai rumah dengan selamat. Karena penat yang saya rasakan, naik becak pun menjadi pilihan. Sesampainya di rumah, saya pun langsung ke dalam kamar dan menangis…..

***

Kejadian serupa juga pernah saya alami. Tidak semua secara langsung. Ada juga saya sebagai saksi. Akhirnya, saya mulai menganalisis trik-trik yang biasa dipakai oleh para pencopet angkutan umum. Mereka pura-pura:

  • Menjatuhkan uang koin. Saat berusaha mengambil, sampai menggeser posisi duduk orang lain.

  • Muntah, tapi seringnya tidak keluar ‘isinya’, hanya ludah saja.

  • Menjual kaligrafi

  • Minta tolong bukakan jendela, sambil mengajak ngobrol. Untuk mengalihkan perhatian.

  • Menjatuhkan sesuatu.

  • Mengobrol dengan temannya (hal-hal seru) untuk mengalihkan perhatian.

Sedangkan cirri-ciri performansinya:

  • Rapi, layaknya pekerja kantoran atau mahasiswa atau pelajar

  • Biasanya membawa ransel panjang, tapi kempes. Digunakan untuk menutupi tangannya saat beraksi.

  • Terkadang memainkan Hp, untuk meyakinkan bahwa mereka punya Hp yang bagus.

Mulai saat ini, kita harus lebih waspada. Jangan biarkan meeka (pencopet) berkata, “Performansiku….Menipumu.”

***

Bogor, Juni 2008


Nb: Teriring salam untuk teman-temanku, yang memiliki akses perjalanan cukup jauh, setiap harinya.

Lanjut membaca “Performansiku… Menipumu”  »»
bisnis syariah

Blogger

Komentar Artikel

Artikel Terbaru

Glitter Words
Belajar menjadi pembelajar yang baik

(c) 2009, Butiran Pasir

  © Blogger templates Shiny by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP